Minggu, 14 Juni 2020

ISLAM DAN MULTIKULTURAL


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Istilah Multikultural akhir-akhir ini mulai diperbincangkan di berbagai kalangan berkenaan dengan merebaknya konflik etnis di negara ini. Multikultural yang dimiliki Indonesia dianggap faktor utama terjadinya konflik. Konflik berbau SARA yaitu suku, agama, ras, dan antargolongan yang terjadi di Aceh, Ambon, Papua, Kupang, Maluku dan berbagai daerah lainnya adalah realitas yang dapat mengancam integrasi bangsa di satu sisi dan membutuhkan solusi konkret dalam penyelesaiannya di sisi lain. Hingga muncullah konsep multikulturalisme. Multikulturalisme dijadikan sebagai acuan utama terbentuknya masyarakat multikultural yang damai.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Definisi Multikultural

2.      Pandangan Islam Mengenai Multikultural

3.      Peran Agama dalam Masyarakat Multikultural

4.      Kontroversi Multikulturalisme dan Islam

 

C.    Tujuan

1.      Mengetahui Definisi Multikultural

2.      Mengetahui Pandangan Islam Mengenai Multikultural

3.      Mengetahui Peran Agama dalam Masyarakat Multikultural

4.      Mengetahui Kontroversi Multikulturalisme dan Islam

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Definisi Multikultural

Multikultural berasal dari kata “Multi” yang berarti plural (keberagaman), “cultural” yang berarti kultur atau budaya. Sehingga multikultural dapat diartikan sebagai keragaman kebudayaan. Kondisi ini dikarenakan ada banyaknya suku bangsa dengan struktur budaya sendiri yang tentunya berbeda dari budaya suku bangsa lainnya.

Pada hakikatnya masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas berbagai macam suku yang masing-masing mempunyai struktur budaya (culture) yang berbeda-beda. Dalam hal ini masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun memiliki karakteristik heterogen di mana pola hubungan sosial antarindividu di masyarakat bersifat toleran dan harus menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai (peace co-exixtence) satu sama lain dengan perbedaan yang melekat pada tiap etnisitas sosial dan politiknya. Oleh karena itu, dalam sebuah masyarakat multikultural sangat mungkin terjadi konflik vertikal dan horizontal yang dapat menghancurkan masyarakat tersebut.

Menurut C.W. Watson (1998) dalam bukunya Multiculturalisme, membicarakan masyarakat multikultural adalah membicarakan tentang masyarakat negara, bangsa, daerah, bahkan lokasi geografis terbatas seperti kota atau sekolah, yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dalam kesederajatan.

B.     Pandangan Islam Mengenai Multikultural

Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya keragaman latar belakang budaya dan kemajemukan. Multikultural menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Setiap orang akan menghadapi kemajemukan di manapun dan dalam hal apapun. Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai multikultural karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui perbedaan setiap individu untuk hidup bersama dan saling menghormati satu dengan yang lainnya.

Allah SWT. menciptakan manusia dengan bermacam-macam perbedaan supaya bisa saling berinteraksi mengenal antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan bangsa dan suku tentu akan melahirkan bermacam budaya yang ada di masyarakat yang menjadi kekayaan bangsa, namun jika perbedaan tidak dikelola dengan baik, maka akan menjadi masalah yang akan menimbulkan kerugian bagi umat manusia. Di satu sisi multikultural masyarakat dapat menjadi kekuatan jika dikelola dengan baik dan profesional, namun jika tidak, perbedaan cara pandang antar individu bangsa yang multikultural ini akan menjadi faktor penyebab disintegrasi bangsa dan konflik yang berkepanjangan

Al-Qur’an memuat ayat-ayat yang berisi pedoman-pedoman dan pokok-pokok peraturan yang sangat dibutuhkan manusia untuk mengatur kehidupannya, baik yang berhubungan dengan keimanan, maupun peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia baik secara personal maupun komunal. Dari sekian banyak petunjuk yang terdapat di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi pesan-pesan yang seharusnya menjadi pedoman bagi umat manusia terhadap upaya menjaga kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan yang multikultural. Diantara pesan – pesan tersebut adalah Al Qur’an menyatakan bahwa manusia diciptakan dari asal yang sama. Sebagaimana dijelaskan di dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang artinya:

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami  jadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku agar  kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari asal yang sama sebagai keturunan Adam dan Hawa yang tercipta dari tanah. Seluruh manusia sama di hadapan Allah, manusia menjadi mulia bukan karena suku, warna kulit ataupun jenis kelamin melainkan karena ketaqwaannya. Kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tujuan penciptaan semacam itu bukan untuk saling menjatuhkan, menghujat, dan bersombong-sombongan melainkan agar masing-masing saling kenal-mengenal untuk menumbuhkan rasa saling menghormati dan semangat saling tolong-menolong. Dari paparan ayat ini dapat di pahami bahwa agama Islam secara normatif telah menguraikan tentang kesetaraan dalam bermasyarakat yang tidak mendiskriminasikan kelompok lain

Dalam islam sudah diperintahkan untuk hidup rukun dan saling mengasihi antar sesama. Allah tidak pernah melarang umat manusia untuk hidup berdampingan, rukun, saling mengasihi dan menghormati antar sesama.  Sebagaimana dijelaskan dalam alqur-an surat al-Mumtahanah ayat 8-9. Yang artinya :

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baikdan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama, dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. (QS. Al-Mumtahanah : 8-9)

Selain itu juga , Rosulullah SAW. mengajarkan kepada kita semua untuk saling mengasihi dan menyayangi antar sesama, meskipun berbeda agama , ras, suku , bangsa dan budaya.

Sampai batas tertentu, respons agama terhadap kecenderungan multikulturalisme memang masih ambigu. Hal itu disebabkan, agama kerap dipahami sebagai wilayah sakral, metafisik, abadi, samawi, dan mutlak. Bahkan, pada saat agama terlibat dengan urusan ’duniawi’ sekalipun, hal ini tetap demi penunaian kewajiban untuk kepentingan ’samawi.’ Berbagai agama, tentu saja, berbeda-beda dalam perkara cara dan berbagai aspek, namun agama-agama tersebut hampir seluruhnya memiliki sifat-sifat demikian itu.

Karena sakral dan mutlak, maka sulit bagi agama-agama tersebut untuk mentoleransi atau hidup berdampingan dengan tradisi kultural yang dianggap bersifat duniawi dan relativistik. Oleh karena itu, persentuhan agama dan budaya lebih banyak memunculkan persoalan daripada manfaat. Apalagi, misalnya dalam konteks Islam, kemudian dikembangkan konsep bid’ah yang sama sekali tidak memberikan ruang akomodasi bagi penyerapan budaya non-agama.

Sebenarnya, cita-cita agung multikulturalisme tidak bertentangan dengan agama; namun demikian basis teoretisnya tetap problematik. Nilai-nilai multikulturalisme dianggap ekstra-religius yang ditolak oleh para teolog Muslim, sehingga sulit untuk mengeksplorasi tema tersebut.

Dalam upaya membangun hubungan sinergi antara multikulturalisme dan agama, minimal diperlukan dua hal yaitu :

Penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif. Penafsiran ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di garda depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakat-masyarakat beragama.

Mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini, umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur Barat modern. Kita tak mungkin menghindar dari ide-ide dan teori-teori sekuler. Itu berarti, menyentuh istilah-istilah dengan gagasan non-religius itu merupakan tugas paling menantang yang dihadapi kaum Muslim pada zaman modern ini.

Seorang intelektual Muslim asal Iran, menegaskan bahwa umat beragama dihadapkan pada dua persoalan : local problems (problem-problem lokal) dan universal problems (problem-problem universal) yakni problem kemanusiaan secara keseluruhan. Saat ini problem-problem seperti perdamaian, hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan, telah menjadi problem global, dan harus diselesaikan pada level itu.

C.    Peran Agama dalam Masyarakat Multikultural

Respons agama terhadap kecenderungan multikulturalisme memang masih ambigu. Hal itu disebabkan, agama kerap dipahami sebagai wilayah sakral, metafisik, abadi, samawi, dan mutlak. Bahkan, pada saat agama terlibat dengan urusan ’duniawi’ sekalipun, hal ini tetap demi penunaian kewajiban untuk kepentingan ’samawi.’ Berbagai agama, tentu saja, berbeda-beda dalam perkara cara dan berbagai aspek, namun agama-agama tersebut hampir seluruhnya memiliki sifat-sifat demikian itu.

Karena sakral dan mutlak, maka sulit bagi agama-agama tersebut untuk mentoleransi atau hidup berdampingan dengan tradisi kultural yang dianggap bersifat duniawi dan relativistik. Oleh karena itu, persentuhan agama dan budaya lebih banyak memunculkan persoalan daripada manfaat. Apalagi, misalnya dalam konteks Islam, kemudian dikembangkan konsep bid’ah yang sama sekali tidak memberikan ruang akomodasi bagi penyerapan budaya non-agama.

Sebenarnya, cita-cita agung multikulturalisme tidak bertentangan dengan agama; namun demikian basis teoretisnya tetap problematik. Nilai-nilai multikulturalisme dianggap ekstra-religius yang ditolak oleh para teolog Muslim, sehingga sulit untuk mengeksplorasi tema tersebut.

Dalam upaya membangun hubungan sinergi antara multikulturalisme dan agama, minimal diperlukan dua hal yaitu :

Penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif. Penafsiran ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di garda depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakat-masyarakat beragama.

Mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini, umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur Barat modern. Kita tak mungkin menghindar dari ide-ide dan teori-teori sekuler. Itu berarti, menyentuh istilah-istilah dengan gagasan non-religius itu merupakan tugas paling menantang yang dihadapi kaum Muslim pada zaman modern ini.

Seorang intelektual Muslim asal Iran, menegaskan bahwa umat beragama dihadapkan pada dua persoalan : local problems (problem-problem lokal) dan universal problems (problem-problem universal) yakni problem kemanusiaan secara keseluruhan. Saat ini problem-problem seperti perdamaian, hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan, telah menjadi problem global, dan harus diselesaikan pada level itu.

Agama yang sudah masuk dalam masyarakat multikultural akan mengalamiproses akulturasi sehingga agama bisa memiliki banyak versi khususnya dalam aspek implementasi. Mulai dari segi pemahaman sampai pada arti penting agama sesuai dengan kultur masing-masing daerah atau tempat.Peran agama dalam masyarakat multikultural adalah sebagai penjaga dari perbuatan buruk, karena faktanya tidak ada satu agamapun didunia ini yang mengajarka keburukan. Agama beserta seluruh instrumenya (tokoh agama, kitab suci dan aqidahnya), selalu menggembor-gemborkan tentang perilaku yang baik, kebaikan kepada manusia, kiat-kiat untuk hidup sejahtera dan pendekatan kepada Tuhan YME.

 

D.    Kontroversi Multikulturalisme dan Islam

Multikultuiralisme Internal adalah keanekaragaman internal dikalangan umat Islam, ini menunjukkan bahwa kebudayaan Islam itu majemuk secara internal. Dalam hal ini, kebudayaan Islam serupa dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya kecuali kebudayaan yang paling primitif. Kemajemukan internal ini mencakup antara lain : Bidang pengelompokan sosial; Bidang fiqh; Bidang teologi, Bidang tasawuf dan dimasa modern seperti politik kepartaian.

Dilihat dari sudut multikulturalisme internal ini, pluralisme identitas kultural keagamaan dalam masyarakat Muslim bukan hanya merupakan fakta yang sulit dipungkiri. Lebih dari itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap, dan pendekatan. Dalam hal ini, setiap identitas kultural terus berinteraksi dengan dengan identitas kultural yang lain di dalam tubuh umat. Melalui interaksi itu, setiap identitas mendefinisikan identitasnya dalam kaitannya dengan identitas yang lain dan karenanya, secara sadar atau tidak, suatu identitas dipengaruhi identitas yang lain. Multikulturalisme internal ini, dengan demikian, mengisyaratkan kesediaan berdialog dan menerima kritik.

 

Poso, Sulawesi Tengah konflik bernuansa sara mula-mula terjadi pada tanggal 24 Desember 1998 yang dipicu oleh seorang pemuda Kristen yang mabuk melukai seorang pemuda Islam di dalam Masjid Sayo. Kemudian pada pertengahan April 2000, terjadi lagi konflik yang dipicu oleh perkelahian antara pemuda Kristen yang mabuk dengan pemuda Islam di terminal bus Kota Poso. Perkelahian ini menyebabkanterbakarnya permukiman orang Pamona di Kelurahan Lambogia. Selanjutnya, permukiman Kristen melakukan tindakan balasan.

            Dari kasus tersebut terlihat betapa perbedaan mampu memicu munculnya konflik sosial. Perbedaan-perbedaan yang disikapi dengan antisipasi justru akan menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan banyak orang. Oleh karena itu, bagaimana kita bersikap dalam keanekaragaman benar-benar perlu diperhatikan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

 

A.    Kesimpulan

Multikultural berasal dari kata “Multi” yang berarti plural (keberagaman), “cultural” yang berarti kultur atau budaya. Sehingga multikultural dapat diartikan sebagai keragaman kebudayaan. Multikultural menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Setiap orang akan menghadapi kemajemukan di manapun dan dalam hal apapun. Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai multikultural karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui perbedaan setiap individu untuk hidup bersama dan saling menghormati satu dengan yang lainnya. Peran agama dalam masyarakat multikultural adalah sebagai penjaga dari perbuatan buruk, karena faktanya tidak ada satu agamapun didunia ini yang mengajarka keburukan.

 

B.     Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dalam menjelaskan tentang Islam dan Masyarakat Multikutural dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan.

Penulis juga berharap semoga dengan adanya makalah ini pembaca dapat hidup rukun antar sesama dan dalam islam sudah diperintahkan untuk hidup rukun dan saling mengasihi antar sesama. Penulis juga berharap agar pembaca memberikan kritik yang membangun guna memperbaiki penulisan makalah-makalah selanjutnya.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

http://geoenviron.blogspot.com/2013/04/masyarakat-multicultural-dan_1110.html

http://catataninfi.blogspot.co.id/2012/03/pendidikan-islam-dan-multikulturalisme.html

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/multikulturalisme-agama-di-indonesia

https://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar