BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam kehidupan anak ada dua proses yang beroperasi secara kontinu, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Banyak orang yang menggunakan istilah “pertumbuhan” dan “perkembangan” secara bergantian. Kedua proses ini berlangsung secara interdependensi, artinya saling bergantung satu sama lain. Kedua proses ini tidak biasa dipisahkan dalam bentuk-bentuk yang secara pilah berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi bisa dibedakan untuk maksud lebih memperjelas penggunaannya.
Perkembangan anak meliputi tiga aspek, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.Afektif berkaitan dengan perasaan atau emosi.Kognitif berkaitan dengan kegiatan mental dalam memperoleh, mengolah, mengorganisasi, dan menggunakan pengetahuan.Psikomotorik berkaitan dengan kepribadian manusia. Dan dalam makalah ini akan dibahas mengenai pola aspek perkembangan Afektof, kognitif dan psikomotorik.
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana pola-pola perkembangan afektif manusia ?
b. Bagaimana pola-pola perkembangan kognitif manusia ?
c. Bagaimana tahap-tahap perkembangan psikomotorik manusia ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Perkembangan Afektif
Menurut KBBI, Afektif berkenaan dengan perasaan seperti takut atau cinta, mempengaruhi keadaan perasaan dan emosi, mempunyai gaya atau makna menunjukkan perasaan (tentang tata gaya bahasa atau makna).
Seseorang individu dalam merespon sesuatu lebih banyak diarahkan oleh penalaran dan pertimbangan-pertimbangan objektif. Akan tetapi pada saat-saat tertentu di dalam kehidupannya, dorongan emosional banyak bercampur tangan dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran dalam tingkah lakunya. Perasaan-perasaan yang menyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-hari disebut warna afektif. Warna afektif kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah, kadang-kadang tidak jelas.Dalam hal warna afektif tersebut kuat, maka perasaan-perasaan menjadi lebih mendalam, lebih luas, dan lebih terarah. Perasaan-perasaan seperti ini disebut emosi (Sarlito, 1982: 59).
Pola-Pola Perkembangan Afektif Manusia
Seorang ahli psikoanalisa dan sekaligus seorang pendidik, Erik H. Erikson mengemukakan bahwa perkembangan manusia adalah sintetis dari tugas-tugas perkembangan dan tugas-tugas sosial. Dikemukakan pula bahwa perkembangan afektif merupakan dasar perkembangan manusia. Erikson melahirkan teori perkembangan afektif yang terdiri atas delapan tahap.
a. Trust vs Mistrus (Kepercayaan vs Kecurigaan, 0-1 tahun)
Kepercayaan (trust) terbentuk selama tahap sensorik awal. Ditunjukkan lewat rasa aman yang dimiliki, dan diperoleh dari hasil hubungan yang aman & nyaman dengan lingkungan. Sedangkan kecurigaan (mistrust), merupakan sisi lain dari rasa aman & nyaman. Kepercayaan & kecurigaan menumbuhkan pengharapan. Anak belajar menepis kekecewaan & menemukan pengharapan. Sisi negatifnya adalah kultus/pemujaan terhadap pahlawan, yang berlebihan.
b. Autonomy vs Shame and Doubt(Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu, 1-3 tahun)
Pada tahap ini Erikson melihat munculnya autonomy. Dimensi autonomy ini timbulnya karena adanya kemampuan motoris dan mental anak. Pada saat ini bukan hanya berjalan, tetapi juga memanjat, menutup-membuka, menjatuhkan, menarik, dan mendorong, memegang dan melepaskan. Anak sangat bangga dengan kemampuan ini dan ia ingin melakukan banyak hal sendiri. Orang tua sebaiknya menyadari bahwa anak butuh melakukan sendiri hal-hal yang sesuai dengan kemampuannya menurut langkah dan waktunya sendiri. Anak kemudian akan mengembangkan perasaannya bahwa ia dapat mengendalikan otot-ototnya, dorongan-dorongannya, serta mengendalikan diri dan lingkungannya.
Orang tua yang telalu melindungi dan selalu mencela hasil pekerjaan anak-anak, berarti telah memupuk rasa malu dan ragu yang berlebihan sehingga anak tidak dapat mengendalikan dunia dan dirinya sendiri.
Jika anak meninggalkan masa perkembangan ini dengan autonomi yang lebih kecil dari pada rasa malu dan ragu, ia akan mengalami kesulitan untuk memperoleh autonomi pada masa remaja dan masa dewasanya. Sebaliknya anak yang dapat melalui masa ini dengan adanya keseimbangan serta dapat mengatasi rasa malu dan ragu dengan rasa autonomus, maka ia sudah siap menghadapi siklus-siklus kehidupan berikutnya. Namun demikian keseimbangan yang diperoleh pada masa ini dapat berubah ke arah positif maupun negatif oleh peristiwa-peristiwa di masa selanjutnya.
c. Initiatives vs Guilt (Inisiatif vs Kesalahan, 4-5 tahun)
Inisiatif anak akan lebih terdorong dan terpupuk bila orang tua memberi respon yang baik terhadap keinginan anak untuk bebas dalam melakukan kegiatan-kegiatan motoris sendiri dan bukan hanya bereaksi atau meniru anak-anak lain. Hal yang sama terjadi pada kemampuan anak untuk menggunakan bahasa dan kegiatan fantasi. Dimensi sosial pada tahap ini mempunyai dua ujung : inititive guilt. Anak yang diberi kebebasan dan kesempatan untuk berinisiatif pada permainan motoris serta mendapat jawaban yang memadai dari pertanyaan–pertanyaan yang diajukan (Iintelectual inititive). Maka inisiatifnya akan berkembang dengan pesat.
d. Industry vs Inferiority (Kerajinan vs Inferioritas, 6-11 tahun)
Anak mulai mampu berpikir deduktif, bermain dan belajar menurut peraturan yang ada. Dimensi psikososial yang muncul pada masa ini adalah :
Sense of industry sense of inferiority
Anak didorong untuk membuat, melakukan dan mengerjakan dengan benda-benda yang praktis, dan mengerjakannya sampai selesai sehingga menghasilkan sesuatu.
Pada usia Sekolah Dasar ini dunia anak bukan hanya lingkungan rumah saja melainkan mencakup juga lembaga–lembaga lain yang mempunyai peranan penting dalam perkembangan individu. Pengalaman–pengalaman sekolah anak mempengaruhi industry dan inferiority anak. Anak dengan IQ 80 atau 90 akan mempunyai pengalaman sekolah yang kurang memuaskan walaupun sifat industri dipupuk dan dikembangkan di rumah. Ini dapat menimbulkan rasa inferiority (rasa tidak mampu). Keseimbangan industry dan inferiority bukan hanya bergantung kepada orang tuanya, tetapi dipengaruhi pula oleh orang-orang dewasa lain yang berhubungan dengan anak itu.
e. Identity vs Role Confusion (Identitas vs Kekacauan Identitas, 12-18 tahun)
Pada saat ini anak sudah menuju kematangan fisik dan mental. Ia mempunyai perasaan -perasaan dan keinginan–keinginan baru sebagai akibat perubahan-perubahan tubuhnya. Pandangan dan pemikirannya tentang dunia sekelilingnya mengalami perkembangan. Ia mulai dapat berpikir tentang pikiran orang lain. Ia berpikir pula apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya. Ia mulai mengerti tentang keluarga yang ideal, agama dan masyarakat yang dapat diperbandingkannya dengan apa yang dialaminya sendiri.
Menurut Erikson pada tahap ini dimensi interpersonal yang muncul adalah : Ego identity role confusion
Pada masa ini remaja harus dapat mengintegritaskan apa yang telah di alami dan dipelajarinya tentang dirinya sebagai anak, siswa, teman, anggota, pramuka dan lain sebagainya menjadi satu kesatuan sehingga menunjukan kontinuitas dengan masa lalu dan siap menghadapi masa datang.
Peran orang tua yang pada masa lalu berpengaruh secara langsung pada krisis perkembangan, maka pada masa ini pengaruhnya tidak langsung. Jika anak mencapai masa remaja dengan rasa terima kasih kepada orang tua, dengan penuh kepercayaan, mempunyai autonomy, berinisiatif, memiliki sifat-sifat industry, maka kesempatan kepada ego indentiti sudah berkembang.
f. Intimacy vs Isolation (Keintiman vs Isolasi, 21-40 tahun)
Yang dimaksud dengan intimacy oleh Erikson selain hubungan antara suami istri adalah juga kemampuan untuk berbagai rasa dan memperhatikan orang lain. Pada tahap ini pun keberhasilan tidak tergantung secara langsung kepada orang tua. Jika intimacy ini tidak terdapat diantara sesama teman atau suami istri, menurut Erikson, akan terdapat apa yang disebut isolation, yakni kesendirian tanpa adanya orang lain untuk berbagi rasa dan memperhatikan.
g. Generavity vs Self Absorption (Generativitas vs Stagnasi, 41-65 tahun)
Generativity berarti bahwa orang mulai memikirkan orang–orang lain diluar keluarganya sendiri, memikirkan generasi yang akan datang serta hakikat masyarakat dan dunia tempat generasi itu hidup. Generativity ini bukan hanya terdapat pada orang tua (ayah dan ibu), tetapi terdapat pula pada individu-individu yang secara aktif memikirkan kesejahteraan kaum muda serta berusaha membuat tempat kerja yang lebih baik untuk mereka hidup. Orang yang tidak berhasil mencapai Generativity berarti ia berada dalam keadaan self absorption dengan hanya memutuskan perhatiah kepada kebutuhan-kebutuhan dan kesenangan pribadi saja.
h. Integrity vs Despair (Integritas vs Keputusasaan, +65 tahun)
Pada tahap ini usaha-usaha yang pokok pada individu sudah mendekati kelengkapan, dan merupakan masa-masa untuk menikmati pergaulan dengan cucu-cucu. Integrity timbul dari kemampuan individu untuk melihat kembali kehidupannya yang lalu dengan kepuasan. Sedangkan kebalikannya adalah despair, yaitu keadaan dimana individu yang menengok ke belakang dan meninjau kembali kehidupannya masa lalu sebagai rangkaian kegagalan dan kehilangan arah, serta disadarinya bahwa jika ia memulai lagi sudah terlambat.
Sebagai rekapitulasi dapat dinyatakan bahwa penahapan perkembangan afektif manusia merupakan perpaduan dari tugas-tugas perkembangan dan tugas–tugas sosial. Perkembangan afektif suatu tahap dapat berpengaruh secara positif maupun negatif terhadap tahap berikutnya. Jika anak mencapai tahap ketiga yang bergaul dengan anak bukan hanya orang tuanya saja melainkan juga orang dewasa lainnya disekolah, yaitu guru.
2.2. Perkembangan Kognitif
Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan,dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menajdi populer sebagai salah satu domain atau wilayah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan, keyakinan ranah kejiwaan yang berpusat diotak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa(Chaplin, 1972).
Pola-pola Perkembangan Kognitif Manusia
Perkembangan kognitif berkaitan dengan kemampuan berpikir seseorang. Jean Piagiet mengemukakan proses anak sampai mampu berpikir seperti orang dewasa melalui empat tahap perkembangan, yakni :
1. Masa sensori motori (0,0-2,5 tahun)
Masa ini adalah masa ketika bayi menggunakan system penginderaan dan aktifitas motorik untuk mengenal lingkungannya. Ia memberikan reaksi motorik terhadap rangsangan yang diterimanya dalam bentuk refleks, seperti refleks mencari putting susu ibu, refleks menangis, refleks kaget dan lain-lain.
2. Masa pra-operasional (2,0-7,0 tahun)
Ciri khas masa ini adalah kemampuan anak dalam menggunakan symbol yang mewakili suatu konsep. Kemampuan simbolik ini memungkinkan seorang anak melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hal-hal yang telah dilihatnya. Misalnya, seorang anak yang pernah melihat dokter sedang praktik ia akan bermain dokter-dokteran.
3. Masa konkreto pra-rasional (7,0-11,0 tahun)
Pada tahap ini anak sudah dapat melakukan beberapa tugas yang konkret. Ia mulai mengembangkan tiga macam operasi berpikir, yaitu identifikasi (mengenali sesuatu), negasi (mengingkari sesuatu), reprokasi (mencari hubungan timbal balik antara beberapa hal).
4. Masa operasional (11,0- Dewasa)
Pada usia remaja dan seterusnya, seseorang akan mampu berpikir abstrak dan hipotetis. Pada tahap ini ia mampu memperkirakan hal-hal yang mungkin terjadi. Ia dapat mengambil kesimpulan dari suatu pernyataan. Misalnya, mainan A lebih mahal daripada mainan B dan mainan C lebih murah daripada mainan B, maka ia dapat menyimpulkan mainan yang paling mahal dan yang paling murah.
2.3. Perkembangan Psikomotorik
Perkembangan psikomotorik adalah perkembangankepribadian manusia yang berhubungan dengan gerakan jasmaniah dan fungsiotot akibat adanya dorongan dari pemikiran, perasaan dan kemauan dari dalam diri seseorang.
Ciri khas dari keterampilan motorik adalah otomatisme, yaitu rangkaian gerak-gerik yang berlangsung secara teratur dan berjalan lancar tanpa dibutuhkan banyak refleksi atau berfikir terhadap apa yang harusdilakukan dan mengapa harus mengikuti suatu gerakan.
Beberapa konstelasi perkembangan motorik individu dipaparkan oleh Hurlock (1996) sebagai berikut :
a. Melalui ketrampilan motorik, anak dapat menghibur dirinya dan memperoleh perasaan senang. Seperti anak merasa senang memiliki ketrampilan memainkan boneka, melempar bola dan memainkan alat alat mainan.
b. Dengan keterampilan motorik anak dapat beranjak dari kondisi tidak berdaya pada bulan bulan pertama dalam kehidupanya kepada kondisi yang independen. Anak dapat bergerak dari satu tempat ketempat yang lain, dan dapat berbuat sendiri untuk dirinya sendiri. Kondisi ini akan menunjang perkembangan rasa percaya diri.
c. Melalui peningkatan potensi perkembangan psikomotorik anak dapat menyesuaikan dangan lingkungan sekolah. Pada masa pra sekolah atau pada masa awal sekolah dasar, anak sudah dapat dilatih menulis menggambar melukis dan baris berbaris.
d. Melalui peningkatan potensi prkembangan psikomotorik yang normal memungkinkan anak dapat bermain dan bergaul dengan teman sebayanya, sedangkan yang tidak normal akan menghambat dalam bergaul dengan teman sebayanya, bahkan dia akan terkucilkan atau menjadi anak yang terpinggirkan
e. Peningkatan potensi perkembangan psikomotorik sangat penting bagi perkembangan self concept (kepribadian anak)
Faktor yang Mempengaruhi psikomotorik Anak adalah faktor pola asuh orang tu, gen dari orang tua,pengaruh lingkungan, interior ruang belajar, dan warna
Tahapan-tahapan Perkembangan Psikomotorik
1. Tahap Kognitif
Tahap ini ditandai dengan adanya gerakan - gerakan yang kaku dan lambat. Hal tersebut terjadi karena anak ataupun siswa masih dalam taraf belajar untuk mengendalikan gerakan gerakanya.
2. Tahap Asosiatif
Pada tahap ini seorang anak ataupun siswa membutuhkan waktu yang lebih pendek untuk memikirkan tentang gerakanya, dia mulai dapat mengasosiasikan gerakan yang sedang dipelajarinya dengan gerakan yang sudah dikenal.
3. Tahap otonomi
Pada tahap ini seorang siswa telah mencapai tingkat otonomi yang tinggi, proses belajarnya sudah hampir lengkap meskipun dia masih dapat memperbaiki gerakan garakan yang dipelajarinya. Tahap ini disebut tahap otonomi karena siswa sudah tidak memerlukan kehadiran instruktur untuk melakukan gerakan gerakan.
Tehnik yang bisa digunakan untuk mengembangkan potensi psikomotorik pada peserta didik diantaranya adalah model permainan atau out bond, model meniru, model kelompok belajar dan bermain
Stimulasi untuk meningkatkan potensi psikomotorik dapat dilakukan diantaranya dengan cara : diberikan dasar - dasar ketrampilan untuk menulis dan menggambar, ketrampilan berolah raga atau menggunakan alat olah raga, gerakan geraka permainan, seperti melompat memanjat dan berlari, dan baris berbaris secara sederhana.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
· Perkembangan afektif berkenaan dengan perasaan takut atau cinta, memperngaruhi keadaan perasaan dan emosi, mempunyai gaya atau makna menunjukkan perasaan. Perkembangan ini memiliki pola-pola dalam perkembangannya yang terbagi menjadi dua yaitu pola perkembangan afektif yang terdiri dari delapan tahap.
· Perkembangan Kognitif berkaitan dengan kegiatan mental dalam memperoleh, mengolah, mengorganisasi, dan menggunakan pengetahuan.Pada pola perkembangan kognitif terdiri dari empat tahap.
· Perkembangan psikomotorik adalah perkembangan kepribadian manusia yang berhubungan dengan gerakan jasmaniah dan fungsi otot akibat adanya dorongan dari pemikiran, perasaan dan kemauan dari dalam diri seseorang. Perkembangan ini terdiri dari 4 tahap.
3.2.Saran
Sebelum menekuni tugasnya membimbing dan mengajar, guru atau calon guru sebaiknya memahami teori Piagiet atau ahli lainya tentang pola-pola perkembangan kecerdasan peserta didik. Dengan demikian mereka memiliki landasan untuk mengembangkan harapan-harapan yang realistis mengenai perilaku peserta didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar